Tahun 2025 menandai arah baru bagi pendidikan tinggi Indonesia. Pemerintah, melalui Kemendikti Saintek, meluncurkan sebuah konsep menarik: kampus berdampak.
Ini bukan sekadar jargon, melainkan ajakan agar perguruan tinggi tidak lagi hanya berkutat dengan tri dharma yang hampir tidak berkontribusi terhadap peningkatan taraf hidup bangsa dan negara.
Dengan “kampus berdampak”, perguruan tinggi ditantang untuk hadir di tengah masyarakat, menjadi agen perubahan nyata—dari ekonomi hingga lingkungan.
Apa sebenarnya kampus berdampak itu?
Bayangkan sebuah universitas yang tidak hanya melahirkan sarjana, tetapi juga solusi. Yang tidak hanya mempublikasikan riset di jurnal internasional, tetapi juga membangun sistem irigasi untuk petani lokal, merancang teknologi ramah lingkungan, atau menciptakan model pendidikan baru di desa terpencil.
Salah satu contoh nyatanya adalah Center of Excellence (CoE) Kelapa Sawit di Universitas Muhammadiyah Malang.
Di sana, kampus bekerja sama dengan industri untuk mendorong inovasi dalam sektor kelapa sawit—bukan sekadar untuk ekspor, tetapi untuk keberlanjutan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan petani.
Mengapa kampus perlu berdampak?
Karena Indonesia sedang menghadapi tantangan besar: perubahan iklim, ketimpangan sosial, krisis pangan, hingga disrupsi teknologi.
Kampus tidak bisa hanya menonton dari balik tembok institusi. Pengetahuan yang hanya berputar di ruang kuliah tidak akan cukup. Kita butuh kampus yang berani “turun ke bumi”.
Selain itu, publik kini semakin kritis dalam melihat peran perguruan tinggi. Mahasiswa dituntut untuk tidak hanya pintar, tapi juga peka.
Masyarakat menuntut agar dana besar yang digelontorkan untuk pendidikan tinggi berbanding lurus dengan manfaat yang dirasakan secara langsung.
Kampus yang berdampak adalah jawaban atas krisis kepercayaan terhadap pendidikan tinggi—ia membuktikan bahwa ilmu bukan hanya untuk segelintir akademisi, tetapi untuk semua lapisan masyarakat.
Lebih jauh lagi, jika kampus gagal memberikan kontribusi nyata, ia berisiko kehilangan relevansinya.
Di tengah gempuran teknologi dan munculnya ruang belajar alternatif di luar institusi formal, hanya kampus yang membumi dan berdampak yang akan tetap menjadi pusat peradaban.
Kampus tidak bisa lagi sekadar menjadi “pabrik ijazah”, tapi harus menjadi ruang harapan.
Tapi… apakah semudah itu?
Tentu tidak. Ada tantangan besar yang tidak bisa diabaikan. Tidak semua kampus punya sumber daya yang cukup—baik dari segi pendanaan, SDM, maupun infrastruktur—untuk mengembangkan riset aplikatif atau menjalin kemitraan lintas sektor.
Kampus-kampus di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) justru berisiko semakin tertinggal jika standar “berdampak” diseragamkan tanpa mempertimbangkan konteks lokal.
Selain itu, tidak semua dosen siap untuk keluar dari zona nyaman akademik. Tantangan administratif, beban kerja yang tinggi, serta tekanan untuk memenuhi target publikasi seringkali menghambat keterlibatan aktif dosen dalam proyek-proyek sosial atau pengabdian yang berdampak langsung.
Di sisi lain, mahasiswa juga belum semuanya dilatih untuk bekerja lintas disiplin dan lintas sektor, padahal kemampuan ini penting dalam menjawab persoalan riil masyarakat.
Ada pula persoalan metodologis: bagaimana mengukur “dampak” secara adil dan menyeluruh? Jika dampak hanya didefinisikan secara kuantitatif—berapa produk dihasilkan, berapa banyak pengguna, atau seberapa besar keuntungan ekonomi—maka riset-riset sosial-humaniora dan kebudayaan bisa tersingkir.
Padahal, riset-riset ini justru memiliki dampak jangka panjang terhadap pembentukan nilai, empati, dan karakter bangsa.
Terakhir, terdapat risiko birokratisasi semangat “dampak”. Ketika kampus hanya berlomba memenuhi indikator teknokratis tanpa memahami esensi kontribusi sosialnya, maka yang lahir bukanlah kampus berdampak, melainkan kampus yang sibuk membangun citra.
Dalam situasi ini, yang hilang adalah kepekaan, keberpihakan, dan keberanian untuk berpihak pada kelompok marjinal.
Jadi, ke mana arah idealnya?
Kampus berdampak bukan berarti kampus yang “berbisnis”. Ia seharusnya menjadi kampus yang peduli dan relevan.
Kampus yang berani mendengarkan suara rakyat kecil, menggali pengetahuan lokal, dan mendorong perubahan dari bawah.
Dampak sejati bukan semata-mata hasil paten atau produk startup, tetapi perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat—baik dari sisi sosial, ekonomi, budaya, maupun lingkungan.
Arah ideal kampus berdampak adalah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar komoditas.
Ini berarti mendorong model pendidikan tinggi yang transformatif dan partisipatif. Mahasiswa tidak hanya dilatih untuk menjadi tenaga kerja, tetapi menjadi problem solver dan warga negara yang aktif.
Dosen tidak hanya menjadi pengajar, tetapi fasilitator perubahan sosial. Kampus harus menjadi ruang dialog yang menghimpun suara masyarakat, bukan hanya menara gading yang jauh dari kenyataan.
Di sisi lain, arah ini juga menuntut negara dan para pemangku kebijakan untuk tidak menempatkan kampus dalam tekanan administratif semata.
Alih-alih menumpuk indikator kuantitatif seperti jumlah paten atau publikasi, sistem penilaian keberhasilan kampus harus mempertimbangkan dimensi kualitatif: perubahan sosial yang terjadi, model hidup berkelanjutan yang tercipta, serta keberdayaan masyarakat yang meningkat.
Kampus berdampak yang ideal adalah kampus yang merangkul keberagaman pendekatan ilmu—antara sains dan seni, antara teknologi dan nilai.
Ia tidak terjebak dalam dikotomi antara akademik dan praktis, melainkan menjembatani keduanya untuk tujuan kemanusiaan.
Kampus seperti ini tidak akan kehilangan arah di tengah tuntutan zaman, karena ia berpijak pada misi utamanya: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperjuangkan keadilan sosial.
Kampus berdampak bukan kampus yang sibuk mengejar ranking, tetapi kampus yang mampu memberdayakan aktivitas Tri dharmanya memberi manfaat bagi rakyat, bangsa, dan negara.
Garut, 2 Mei 2025
Penulis: Asep Nurjamin*)
Dosen Program Pendidikan Profesi Guru, Institut Pendidikan Indonesia (IPI) Garut