MEDIATAMANEWS.ID – KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur adalah tokoh sentral dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, khususnya dalam masa transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi yang lebih substansial. Ia adalah Presiden Republik Indonesia keempat (1999–2001) dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) selama tiga periode (1984–1999), menjadikannya sebagai figur penting yang pengaruhnya melampaui batas politik dan agama.
Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 24 September 1940, Gus Dur membawa nama lengkap Abdurrahman ad-Dakhil. Ia merupakan putra KH Wahid Hasyim dan cucu dari Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Latar belakang keluarganya memperkuat jejak perjuangannya yang menggabungkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan secara utuh.
Masa kecil Gus Dur bertepatan dengan momentum penting dalam sejarah Indonesia: senjakala kekuasaan kolonial Belanda dan semangat menuju kemerdekaan. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, adalah satu dari sembilan tokoh perumus Piagam Jakarta, yang menjadi dasar pembentukan negara Indonesia. Gus Dur kecil telah menyerap atmosfer perjuangan dan pergaulan dengan tokoh nasional seperti Soekarno dan Hatta ketika tinggal di Jakarta bersama ayahnya yang menjabat Menteri Negara.
KH Wahid Hasyim memimpikan generasi pesantren yang modern dan kosmopolit. Maka Gus Dur ditempa melalui pendidikan umum sejak SD di Menteng, lalu SMEP di Yogyakarta. Pendidikan pesantrennya berlanjut di Krapyak Yogyakarta, Tegalrejo Magelang, Tambakberas dan Denanyar Jombang. Ia juga mengenyam pendidikan luar negeri di Universitas Al-Azhar Mesir, kemudian Universitas Baghdad, dan sempat tinggal di Eropa meski gagal kuliah di sana. Ia mempelajari pemikiran Karl Marx hingga Abraham Lincoln secara otodidak.
Sekembalinya ke Indonesia tahun 1971, Gus Dur memilih berkiprah di dunia pesantren dan keilmuan. Ia menjadi juru bicara kalangan pesantren dalam wacana nasional dan internasional. Menurutnya, pesantren harus menjadi agen modernisasi, bukan penghambatnya. Ide-idenya melampaui zaman, seperti konsep “pribumisasi Islam”, yakni penerapan nilai Islam yang ramah, kontekstual, dan menghargai budaya lokal.
Pada 1984, Gus Dur terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-27 di Situbondo. Di bawah kepemimpinannya, NU secara tegas kembali ke “khittah 1926”, menjauh dari politik praktis dan memperkuat perannya sebagai organisasi masyarakat sipil. Gus Dur berhasil memposisikan NU sebagai kekuatan sosial independen vis a vis negara Orde Baru. Di tengah kemapanan kekuasaan militeristik, Gus Dur memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia, dan keberagaman.
Ketika reformasi menggulingkan Soeharto pada 1998, Gus Dur menjadi simbol perubahan. Sidang Umum MPR 1999 mengangkatnya sebagai Presiden RI keempat. Meski kondisi fisiknya dianggap lemah oleh sebagian kalangan, ia membuktikan bahwa pemimpin besar lahir dari ketulusan dan keberanian. Gus Dur memimpin dengan gaya khas, penuh humor namun tegas dalam prinsip.
Selama menjabat, Gus Dur tidak gentar menghadapi tantangan dari militer, parlemen, maupun kelompok-kelompok Islam simbolik yang cenderung intoleran. Ia percaya bahwa demokrasi tidak boleh menjiplak sistem asing, melainkan harus berakar pada tradisi lokal. Ia menolak negara Islam dan gagasan politik Islam eksklusif, karena menurutnya, Indonesia telah final sebagai negara Pancasila. Gus Dur menekankan pentingnya substansi Islam: keadilan, persamaan, dan persaudaraan.
Ia menyebut demokrasi Indonesia di masa Orde Baru sebagai “demokrasi seolah-olah”, di mana semua pilar kekuasaan—eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media—hanya menjadi alat kekuasaan belaka. Bahkan militer dan kepolisian digunakan sebagai alat represi. Maka, menurut Gus Dur, reformasi harus benar-benar mengembalikan demokrasi kepada rakyat.
Meski Gus Dur dikritik dan menghadapi tekanan politik hebat hingga akhirnya dilengserkan oleh MPR pada 2001, ia tetap menjadi tokoh yang dicintai. Ketulusan dan kejujurannya diakui oleh kawan dan lawan. Ia wafat pada 31 Desember 2009 dan dimakamkan di kompleks pesantren Tebuireng, Jombang, berdampingan dengan makam ayah dan kakeknya.
Hingga kini, makamnya tak pernah sepi peziarah. Rakyat datang bukan hanya untuk mendoakan, tetapi juga mengenang dan merindukan pemimpin yang ikhlas, bersahaja, dan berpikiran maju. Gus Dur bukan sekadar mantan presiden atau tokoh NU, tetapi guru bangsa yang mengajarkan nilai-nilai luhur tentang kemanusiaan, keberagaman, dan cinta Tanah Air.***
Editor : Muhammad Rizqy
Sumber Berita : Nu online







