MEDIATAMANEWS.ID – Nama Syekh Abdul Muhyi begitu harum dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, khususnya melalui Tarekat Syathariyah di tanah Jawa. Beliau dikenal sebagai generasi penting setelah Walisongo, yang meletakkan fondasi spiritual mendalam di kalangan umat Islam pada zamannya.
Menurut catatan dalam Intelektualisme Pesantren (2003: 167), Syekh Abdul Muhyi lahir pada tahun 1650 M (1071 H) di Mataram, yang saat itu merujuk kepada Mataram Islam di Jawa Tengah, bukan di Lombok. Beliau lahir di tengah situasi politik yang penuh gejolak, di masa pemerintahan Amangkurat I (1646–1677), ketika pemberontakan Trunajaya mengguncang kerajaan.
dilansir dari https://nu.or.id/ Syekh Abdul Muhyi dikenal dengan sebutan “Pamijahan”, merujuk pada daerah Safar Wadi di Sukapura, tempat beliau menetap dan berdakwah. Beliau wafat pada tahun 1730 M (1151 H), saat Pakubuwono II memimpin Mataram yang juga dilanda pergolakan.
Garis Keturunan Mulia
Syekh Abdul Muhyi merupakan keturunan bangsawan Galuh-Pajajaran dari pihak ayahnya, Lebe Wartakusumah, sedangkan ibunya, Nyai Syarifah Tanjiah (Nyai Rd. Adjeng Tanganziah), berasal dari keluarga besar Sukapura. Dari pernikahan orang tuanya, lahir enam bersaudara termasuk Syekh Abdul Muhyi, memperkuat garis keilmuan dan kearifan lokal.
Menimba Ilmu dari Timur ke Barat
Sejak kecil, Syekh Abdul Muhyi mengenyam pendidikan dari kedua orang tuanya. Ia kemudian melanglang buana menuntut ilmu hingga ke Aceh, Baghdad, dan Makkah. Di Aceh, beliau berguru kepada Syekh Abdurra’uf as-Singkili dan memperoleh baiat Tarekat Syathariyah. Di Baghdad, Syekh Abdul Muhyi berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir al-Jilani, kemungkinan besar sekaligus mengambil baiat Tarekat Qadiriyah, meskipun yang beliau sebarkan lebih dominan adalah Syathariyah.
Dalam tradisi lisan, disebutkan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jilani sering menampakkan diri dalam tirakat-tirakat Syekh Abdul Muhyi, termasuk mengajarkan Qa’idah Baghdadiyah, metode membaca Al-Qur’an kuno di Jawa.
Di Makkah, Syekh Abdul Muhyi berguru kepada para ulama besar seperti Syekh Yusuf al-Makassari dan Syekh Ahmad al-Qusyasyi, memperdalam ilmu syariat, tarekat, hingga hakikat.
Dakwah dan Pengembangan Tarekat di Jawa
Sepulang dari Makkah, Syekh Abdul Muhyi menetap di Ampel, lalu berdakwah di berbagai daerah seperti Darma Kuningan (1678–1685), Pameungpeuk Garut, hingga akhirnya memilih menetap di Gua Sapar Sukapura, yang kemudian menjadi pusat pendidikan spiritual.
Beliau membangun perkampungan Safar Wadi, yang kini dikenal sebagai Pamijahan. Di tempat ini, Syekh Abdul Muhyi mendidik banyak murid pilihan, mendirikan pusat-pusat dakwah, dan mengokohkan penyebaran Tarekat Syathariyah di Nusantara.
Keluarga Besar dan Penerus Dakwah
Syekh Abdul Muhyi memiliki empat istri: Nyi Mas Ayu Bakta, Nyi Mas Ayu Fatimah, Nyi Mas Ayu Salamah, dan Nyi Mas Ayu Winangun, dengan keturunan yang banyak dan turut meneruskan perjuangan dakwah beliau. Anak-anak beliau seperti Syekh Muhyiddin, Syekh Abdullah, dan Sayyid Faqih Ibrahim (yang dikenal juga sebagai Sunan Cipager) menjadi tokoh sentral dalam penyebaran tarekat di berbagai wilayah, termasuk Sumedang, Kartasura, dan bahkan Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Menurut Tomy Christomy (2008: 103), keturunan dan murid-murid Syekh Abdul Muhyi menyebarkan Tarekat Syathariyah ke berbagai penjuru Jawa, dari Batavia, Banten, Cirebon, hingga Yogyakarta dan Madiun.
Ajaran Spiritual: Martabat Tujuh
Dalam pendidikan spiritualnya, Syekh Abdul Muhyi mengajarkan konsep Martabat Tujuh atau Martabat kang Pitutu, sebuah jenjang kesadaran ruhani untuk mencapai maqam Insan Kamil. Ajaran ini menekankan pentingnya muraqabah terhadap tajalli (penampakan Ilahi) dan mengenali level spiritual: dari ajsaam hingga ahadiyah.
Mengenali martabat ini bukan sekedar teori, tetapi menjadi landasan untuk memahami hakikat kehidupan, menyadari kekuasaan Allah secara total, dan memperkokoh iman dalam setiap perjalanan ruhani.
Warisan Abadi di Nusantara
Syekh Abdul Muhyi bukan hanya dikenal sebagai pembawa Tarekat Syathariyah, melainkan juga sebagai penghubung batin antara murid-muridnya dengan Allah dan Rasulullah. Dalam perjalanan spiritual murid-muridnya, figur beliau sering hadir dalam penglihatan batin sebagai pemandu menuju cinta Ilahi yang lebih dalam.
Dalam karya-karyanya, baik dalam bahasa Arab maupun lokal, Syekh Abdul Muhyi mengajarkan nilai-nilai keikhlasan, khidmah kepada umat, dan kesatuan lahir-batin dalam beragama. Di tangan beliau, Pamijahan menjadi mercusuar spiritual Jawa Barat, dan hingga kini, warisannya terus menginspirasi para pencari jalan Tuhan.
Penulis : Muhammad Rizqy N
Editor : Muhammad Rizqy N
Sumber Berita : https://nu.or.id/







